بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
أَهْوَنُ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا أَبُو طَالِبٍ ، وَهُوَ مُنْتَعِلٌ بِنَعْلَيْنِ يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ
Penduduk neraka yang paling ringan siksanya adalah Abu Thalib. Dia
dipakaikan dua sandal (di dalam neraka) yang menyebabkan otaknya
mendidih.” (HR. Muslim, no. 212 dan Ahmad, no. 2636).
Saudaraku,
Bulan Rajab tahun kesepuluh kenabian, Mekkah siang itu terasa sangat terik, karena jazirah Arab berada pada musim panas. Kala itu Rasulullah s.a.w menjenguk pamannya Abu Thalib yang didera sakit yang semakin kritis. Hal demikian itu beliau lakukan sebagai usaha manusiawi, untuk menyelamatkan sang paman yang semasa hidupnya sangat berjasa bagi perjuangan Islam dan kaum muslimin. Bahkan Abu Thalib selalu melindungi dan memasang badan untuk kemenangan dakwah.
Bulan Rajab tahun kesepuluh kenabian, Mekkah siang itu terasa sangat terik, karena jazirah Arab berada pada musim panas. Kala itu Rasulullah s.a.w menjenguk pamannya Abu Thalib yang didera sakit yang semakin kritis. Hal demikian itu beliau lakukan sebagai usaha manusiawi, untuk menyelamatkan sang paman yang semasa hidupnya sangat berjasa bagi perjuangan Islam dan kaum muslimin. Bahkan Abu Thalib selalu melindungi dan memasang badan untuk kemenangan dakwah.
"Quraisy tidak
mendapatkan celah dan ruang untuk melakukan tindakan yang tidak aku
sukai (berlaku buruk terhadapku), sehingga Abu Thalib meninggal dunia."
Demikian sabda Nabi s.a.w, yang dikutip oleh Ibnu Hisyam dalam kitab
'Sirah Nabawiyah'-nya yang fenomenal.
Namun, ujung dari seluruh
usaha manusia adalah ketentuan takdir-Nya. Manusia hanya melukis harapan
dan merancang cita-cita. Tapi semua harapan dan cita-cita tak terwujud
di alam realita, jika membentur tembok takdir-Nya.
Walau pun Abu
Thalib membenarkan risalah Nabi s.a.w dalam hatinya. Tapi karena
lisannya tidak berikrar dan perbuatannya tidak mencerminkan
keyakinannya, maka hal itu belum cukup menjadikannya termasuk bagian
dari golongan orang-orang muslim.
Rasulullah s.a.w sangat berduka
dengan kepulangan paman beliau ke alam baqa. Dan awan mendung di langit
hati Nabi s.a.w semakin berarak, setelah beliau saksikan di hadapannya,
bahwa sang paman meninggal dalam keadaan kufur. Menolak melafadz-kan
kalimat tauhid 'laa ilaaha ilallah'.
Saudaraku,
Sa'id bin al-Musayyib meriwayatkan, "Tatkala ajal mendekati Abu Thalib, datanglah Rasulullah kepadanya sedangkan di sisinya ada Abdullah bin Umayyah dan Abu Jahl. Maka Rasulullah pun berkata kepadanya, "Wahai Pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallah. Suatu kalimat yang akan aku jadikan bukti untuk membelamu di sisi Allah pada hari kiamat."
Sa'id bin al-Musayyib meriwayatkan, "Tatkala ajal mendekati Abu Thalib, datanglah Rasulullah kepadanya sedangkan di sisinya ada Abdullah bin Umayyah dan Abu Jahl. Maka Rasulullah pun berkata kepadanya, "Wahai Pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallah. Suatu kalimat yang akan aku jadikan bukti untuk membelamu di sisi Allah pada hari kiamat."
Selanjutnya Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah pun berkata kepada Abu Thalib, "Apakah engkau membenci agama Abdul Muthalib?."
Nabi s.a.w mengulangi lagi perkataan sebelumnya, namun keduanya pun mengulangi pula perkataan mereka sebelumnya.
Akhirnya, ucapan terakhir yang terucap dari lisan Abu Thalib adalah dia
di atas agama (kepercayaan nenek moyangnya) Abdul Muthalib dan enggan
untuk mengucapkan Laa ilaaha illallah.
Nabi s.a.w berkata,
"Sungguh aku akan memohonkan ampun untukmu selama aku tidak dilarang. "
Kemudian Allah menurunkan ayat, "Tiada sepatutnya bagi Nabi dan
orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi
orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat-nya, sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik
itu adalah penghuni neraka Jahim." (QS. At-Taubah: 113).
Dan
Allah menurunkan perihal Abu Thalib, "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya." (QS. Al-Qashash: 56). (HR.
Bukhari, no. 3884 dan Muslim, no. 24).
Saudaraku,
Ada beberapa pelajaran berharga yang dapat kita petik dari kisah kepergian Abu Thalib paman Rasulullah s.a.w, ke tempat yang abadi dalam keadaan musyrik.
Ada beberapa pelajaran berharga yang dapat kita petik dari kisah kepergian Abu Thalib paman Rasulullah s.a.w, ke tempat yang abadi dalam keadaan musyrik.
Boleh menjenguk orang sakit yang non-muslim, selama
bertujuan untuk mendo'akan hidayah dan mendakwahinya masuk ke dalam
Islam. Selama ruh belum meninggalkan jasadnya. Selama ia belum
meninggalkan dunia.
Bahaya memiliki teman pergaulan yang hidup
jauh dari sinar petunjuk. Karena teman pergaulan model seperti ini akan
menghalangi kita hidup di bawah naungan hidayah. Terlebih saat sakaratul
maut, mereka akan terus merayu kita agar melafadzkan kalimat kekufuran
dan maksiat.
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa Allah
s.w.t menguji hati Abu Thalib dengan kecintaan terhadap Muhammad s.a.w.
Kecintaan yang didasari pada cinta kekerabatan (nasab dan pertalian
darah) dan bukan cinta yang berasaskan syar'i, yakni cinta Muhammad
sebagai seorang penyebar syari'at (seorang utusan Allah).
Makna
kalimat “laa ilaaha illallah” adalah meninggalkan semua warna
peribadatan kepada selain Allah, seperti; malaikat, nabi, jin, berhala,
wali dan orang shalih. Orang-orang musyrik di masa Rasul sudah
mengetahui hal ini.
Seseorang yang mengucapkan kalimaat “laa
ilaaha illallah” dengan penuh keyakinan, kejujuran dan ketulusan, tanpa
mengharap pamrih duniawi yang ingin dicapainya, maka ia digolongkan
menjadi kafilah orang-orang yang telah memeluk Islam.
Terlarang
memintakan ampunan kepada Allah untuk orang musyrik dan dilarang
memberikan loyalitas kepada mereka, juga dilarang mencintai mereka (atas
dasar agama) dan bukan karena mereka memiliki hubungan darah dan tali
kekeluargaan.
Pertaubatan yang dilakukan seorang hamba dan
kembali ke pangkuan Islam sebelum meninggal dunia, maka taubatnya
diterima di sisi Allah s.w.t.
Amalan itu dilihat di
penghujungnya. Sekiranya Abu Thalib melafadz-kan kalimah thayyibah "laa
ilaaha illallah" sebelum meninggal dunia, maka hal itu cukup menjadi
bukti ke-islamannya, meskipun sepanjang hidupnya ia menyembah berhala.
Rasul s.a.w tidak dapat memberi manfaat kepada pamannya sendiri dengan
menuntunnya memeluk Islam, apalagi kepada orang lain. Ini menunjukkan
terlarangnya memiliki ketergantungan hati pada Nabi s.a.w dalam meraih
manfaat dan menolak mudharat.
Kisah Abu Thalib dalam hadits di atas menunjukkan bahwa paman Nabi s.a.w tersebut mati dalam keadaan kafir.
Bahaya hanya mengekor (taklid buta) kepada leluhur (nenek moyang) atau
hanya mengikuti tradisi mereka, dan hal itu dijadikan alasan ketika
diluruskan ideologi dan pemahamannya yang menyimpang dengan berdalih,
“Ini merupakan tradisi nenek moyang kami."
Hidayah itu bukan
berada di tangan Nabi, tokoh agama, alim ulama, cerdik pandai dan yang
senada dengan itu. Tapi hidayah hanya di tangan Allah s.w.t.
Abu
Thalib di dalam neraka kelak di akherat, mendapat siksa yang paling
ringan. Tersebut dalam hadits shahih riwayat Muslim (no. 212) dan Ahmad
(no. 2636), "Penduduk neraka yang paling ringan siksanya adalah Abu
Thalib. Dia dipakaikan dua sandal (di dalam neraka) yang menyebabkan
otaknya mendidih.”
Sebab diringankannya siksa Abu Thalib dalam
neraka, bukan karena amalan baik yang pernah diukirnya di dunia. Tapi
karena syafa'at khusus dari Nabi s.a.w untuknya.
Mendakwahi
karib kerabat lebih prioritas bagi kita daripada orang lain yang tidak
memiliki hubungan darah dan tali kekeluargaan dengan kita. Dan hal itu
sangat jelas terlihat dari perhatian Nabi s.aw kepada paman beliau Abu
Thalib. Terlebih dalam kondisi kritis dan krusial.
Amal shalih,
kebaikan, kebajikan, dan ukiran ketaatan tanpa didasari dengan iman
adalah fatamorgana, sia-sia tanpa makna dan tiada harapan di sana. Di
akherat sana. "Barang siapa yang kafir terhadap keimanan (tiada
beriman), maka sungguh sia-sialah amalan mereka dan di hari kiamat dia
termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Al-Maidah: 5).
Saudaraku,
Teramat penting keimanan yang ada di dalam hati kita, dirawat, dipelihara, dijaga dengan maksimal, agar ia tumbuh subur di dalam bathin kita.
Teramat penting keimanan yang ada di dalam hati kita, dirawat, dipelihara, dijaga dengan maksimal, agar ia tumbuh subur di dalam bathin kita.
Karena keimanan inilah yang akan menyelamatkan kita di
sana. Di akherat sana. Dan keimanan yang lurus dan benar adalah keimanan
yang menetaskan amal shalih dalam hidup kita. Bukan sekadar hiasan
bibir belaka tanpa ada bukti yang nyata di alam realita kehidupan kita.
Wallahu a'lam bishawab.
Metro, 04 Mei 2014
Fir'adi Abu Ja'far
Fir'adi Abu Ja'far
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
0 Response to "SEMUA BERAWAL DARI IMAN"
Posting Komentar