بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Biasanya dalam tarbiyah, awal-awal
tarbiyah itu (ini pengamatan saya sekian puluh tahun) itu biasanya kalau
dipindahkan dengan Murobbi yang lain ada resistensi, rasanya ga mau,
yang penting inilah pemimpin kita. Tapi kalau sudah sekian tahun, wala
(loyalitas) itu pada perjuangan dan pada dakwah, bukan wala itu kepada
pribadi-pribadi. Taat kepada Allah, taat kepada Rosul dan taat kepada
pimpinan. Dan intimanya itu pada intima masiri, pada perjuangan itu
sendiri.
Sebab suatu saat nanti akan terjadi
benturan, setahun dua tahun tiga tahun, kemudian terjadi benturan dengan
dakwah itu sendiri, mana yang harus dipilih. Oleh karena itu para
Murabbi sendiri juga harus menanamkan bahwa WALA itu kita berikan hanya
kepada Allah dan dakwah.
Dalam sejarah kita dapatkan bahwa setiap
yang berbuat itu tidak ada intimanya kepada pribadi-pribadi, meskipun
tentunya yang namanya ihtirom penghormatan itu tetap. Namun kalau sudah
keputusan Syuro, itu akan terjadi ketika syuro memutuskan A, antum
cenderungnya kepada B karena hubunganya sangat intim, kalau demikian
antum harus bersikap apa? Maka akan terjadi sikap-sikap yang dilapangan
bisa saja berbeda. Semuapun harus taat. Kalau dalam syuro yang menjadi
pemimpin Si Fulan ya harus ditaati, meskipun dari Mustawa dia lebih
rendah.
Antum bayangkan bagaimana Usamah bin Zaid ketika Rosulullah mewasiatkan dia yang akan memimpin pasukan. Ada yang berani ganti?
Siapa Usamah?
Usianya belum sampai 20 tahun, dibelakangnya itu Senior-senior dari para Sahabat Rasulullah. Semuanya mengatakan Sam’an Wathoatan pada pemimpin kita, harus begitu. Karena itulah Ibadah, ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rosulnya.
Usianya belum sampai 20 tahun, dibelakangnya itu Senior-senior dari para Sahabat Rasulullah. Semuanya mengatakan Sam’an Wathoatan pada pemimpin kita, harus begitu. Karena itulah Ibadah, ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rosulnya.
Dalam tarbiyahpun seharusnya begitu.
Supaya orang itu tidak muncul Ghurur, kesombongan pribadinya. Saya ini
lebih hebat, lebih mampu, lebih ini, kenapa yang dipilih ini. Dan itu
awal dari kegagalan Tarbiyah itu sendiri.
Antum bayangkan Ibnu Umar, saya siap
musafir dengan antum, tapi saya tidak mau jadi pemimpin, dalam
perjalanan saya siap menjadi khodim, yang dicari berkhidmat, bukan
perintah sana sini. Memang pemimpin kalau perintah enak, kamu carikan
ini, kamu carikan itu, kemudian dia duduk di kursi yang goyang-goyang.
Antum coba lihat Rosulullah ketika
melihat ada sahabat yang akan memotong kambing, Rosulullah berinisiatif
untuk mencari kayu. “Saya yang cari kayu” ujar Rosul.
Para sahabat mengatakan sudah cukup, kita tidak perlu lagi.
Para sahabat mengatakan sudah cukup, kita tidak perlu lagi.
Apa Jawaban Rosulullah ?
Rosulullah bersabda :”saya bagian dari kalian dan perumpamaan kita dengan dunia itu seperti seorang musafir kemudian berhenti sejenak, kemudian berjalan. Itulah dunia kita. Hanya sejenak saja.
Ada yang menggambarkan, dunia itu begitu
cepatnya, kalau seseorang mempunyai anak, diadzani ditelinga kanan,
komat ditelinga kiri.
Terus pertanyaanya Sholatnya kapan?
Biasanya kalau sudah Adzan dan Komat biasanya Sholat. Kapan Sholatnya?
Jawabanya waktu kita menyolatkan dia setelah menjadi jenazah. Itulah
hidup di dunia. Antara Komat dan Sholat itu pendek sekali.
Disampaikan oleh Ketua Majelis Syuro
PKS Habib Salim Al Jufri dalam Koordinasi Wilayah (Rakorwil) PKS Jawa
Tengah (Jateng) di Hotel Grasia Semarang, Ahad (31/1/2016)
sumber : Islamedia.id
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
0 Response to "Habib Salim : Wala’ itu Hanya Kepada Allah, Bukan Kepada Pribadi Manusia"
Posting Komentar